OPINI – Pesantren, sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan pola pikir santri.
Namun, dalam konteks kepemimpinan perempuan, muncul keprihatinan bahwa struktur pesantren seringkali belum memberikan ruang yang cukup bagi perempuan untuk menduduki posisi strategis.
Padahal, perempuan di pesantren tidak hanya memiliki potensi intelektual yang sama dengan laki-laki, tetapi juga berperan penting dalam membentuk komunitas santri yang lebih seimbang.
Hal ini relevan dengan diskusi di kampus universitas yang sering menjadi pusat kajian kritis tentang isu gender dan kesetaraan, khususnya dalam konteks Islam moderat.
Di banyak pesantren, kepemimpinan masih didominasi oleh laki-laki, sementara peran perempuan, meskipun ada, sering terbatas pada tugas-tugas pendukung.
Hal ini mencerminkan pola subordinasi yang juga sering ditemukan di masyarakat luas. Dalam perspektif Islam moderat, kesetaraan gender adalah salah satu prinsip utama yang harus diwujudkan sebagai bagian dari keadilan sosial.
Islam tidak membedakan kemampuan laki-laki dan perempuan dalam hal kepemimpinan, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah Islam, seperti peran Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi rujukan ilmu dan kebijakan pada zamannya.
Universitas sebagai pusat kajian keilmuan memiliki tanggung jawab untuk menjadi penggerak dalam memperjuangkan kesetaraan gender, termasuk dalam dunia pesantren.
Mahasiswa, khususnya dari fakultas keagamaan atau studi Islam, dapat melakukan penelitian yang kritis terhadap posisi perempuan di pesantren, baik dari segi kurikulum, kebijakan, maupun struktur kepemimpinan.
Kampus juga dapat menjalin kerja sama dengan pesantren untuk memberikan pelatihan kepemimpinan berbasis gender bagi santri dan guru perempuan, sehingga mendorong munculnya lebih banyak tokoh perempuan di pesantren.
Dalam konteks pemberdayaan perempuan, pesantren memiliki peluang besar untuk menjadi agen perubahan. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat penggerak masyarakat.
Jika pesantren mampu memanfaatkan posisinya untuk mempromosikan kesetaraan gender, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh santri, tetapi juga oleh masyarakat sekitar.
Misalnya, pesantren dapat mengadakan program literasi gender atau pelatihan keterampilan ekonomi bagi perempuan, yang tidak hanya meningkatkan kualitas hidup mereka, tetapi juga mendukung prinsip keadilan dalam Islam.
Kolaborasi antara kampus dan pesantren dapat menjadi strategi efektif untuk mempromosikan kesetaraan gender. Kampus, dengan sumber daya intelektualnya, dapat memberikan pelatihan tentang gender, manajemen kepemimpinan, dan pemberdayaan ekonomi kepada pesantren.
Sebaliknya, pesantren dapat memberikan wawasan praktis tentang bagaimana nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan ke dalam upaya pemberdayaan perempuan. Kolaborasi ini mencerminkan pendekatan Islam moderat yang inklusif dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Pendidikan berbasis gender menjadi kebutuhan penting di pesantren. Kurikulum yang memperkenalkan konsep kesetaraan gender, hak-hak perempuan dalam Islam, dan peran perempuan dalam sejarah Islam dapat menjadi langkah awal untuk mengubah paradigma.
Pendidikan ini harus diberikan kepada santri laki-laki dan perempuan, agar mereka memahami pentingnya kesetaraan gender sebagai bagian dari ajaran Islam. Kampus dapat membantu pesantren dalam merancang materi-materi tersebut, sehingga pesantren dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang progresif.
Selain pendidikan, praktik kepemimpinan perempuan di pesantren harus ditingkatkan. Memberikan kesempatan kepada santriwati untuk memimpin organisasi, acara, atau kegiatan akademik di pesantren adalah langkah nyata untuk melatih mereka menjadi pemimpin di masa depan.
Universitas dapat mendukung inisiatif ini dengan menyediakan beasiswa atau program mentoring bagi santriwati yang berpotensi untuk melanjutkan studi di bidang kepemimpinan dan manajemen.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam, memiliki peran strategis dalam mempromosikan kesetaraan gender sesuai dengan prinsip Islam moderat. Kolaborasi dengan universitas dapat memperkuat upaya ini, baik melalui pendidikan, penelitian, maupun pemberdayaan.
Dengan menciptakan ruang bagi perempuan untuk memimpin dan berkontribusi secara aktif, pesantren tidak hanya mencerminkan nilai-nilai Islam yang adil, tetapi juga menjadi model pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman.
Kesetaraan gender di pesantren bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan bermartabat. (***)
Penulis: Intan Diana Fitriyati, M.Ag
Dewan Pengasuh PP. Al. Masyhad Manbaul Falah Walisampang Pekalongan