SANGATTA – Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Kutai Timur menunjukkan komitmennya dalam membangun kualitas sumber daya manusia dengan menjalankan program strategis di dua ujung siklus kehidupan.
Di satu sisi, DPPKB meluncurkan inisiatif Sekolah Lansia dengan pendekatan inovatif, sementara di sisi lain, upaya penurunan angka stunting terus digenjot dengan pendekatan dari hulu, yang menunjukkan hasil signifikan.
Kepala DPPKB Kutim, Achmad Junaidi, menjelaskan bahwa program Sekolah Lansia dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup warga lanjut usia.
Tanpa membebani anggaran dengan pembentukan lembaga baru dengan konsepnya adalah integrasi dan kolaborasi.
“Sekolah lansia akan menempel di SKB Kutai Timur. Dinas Pendidikan akan bersinergi melalui satuan pendidikan nonformal. Jadi tidak mendirikan sekolah baru,” jelas Junaidi, Jumat 14 November 2025.
Kebijakan ini dinilai efisien dan memanfaatkan infrastruktur pendidikan yang sudah ada secara optimal.
Yang menarik, program ini bersifat inklusif dan tidak membatasi partisipasi dengan usia yang terlalu kaku.
Menurut Junaidi, kategori lansia tidak dibatasi secara kaku ada usia 40 tahun ke atas sudah bisa mengikuti kegiatan ini.
Kelonggaran ini memungkinkan lebih banyak warga yang masih produktif untuk mempersiapkan masa tua yang lebih bermakna.
Pilihan menempelkan program di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) juga sangat strategis.
SKB Kutai Timur dinilai cocok karena memiliki lima laboratorium, seperti lab musik, pastry dan bakery, dan membatik, yang dapat digunakan untuk pelatihan keterampilan bagi para lansia.
Hal ini memastikan bahwa kegiatan tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis dan memberdayakan.
Sementara itu, di ujung siklus kehidupan yang lain, DPPKB terus menunjukkan konsistensinya dalam menekan angka stunting. Upaya selama ini membuahkan hasil yang menggembirakan.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI), angka stunting Kutim menurun dari 29 persen menjadi sekitar 26 persen. Junaidi memaparkan data tersebut dengan rinci.
“Kalau kita gabung dengan gizi sangat buruk atau severely underweight, totalnya sekitar 26 persen. Ada penurunan 2–3 persen,” ujarnya.
Penurunan ini bukanlah angka yang kecil dan mencerminkan efektivitas program yang dijalankan.
Lebih detail lagi, DPPKB juga mencatat penurunan signifikan keluarga berisiko stunting dari 19 ribu menjadi sekitar 11 ribu keluarga.
Data ini menunjukkan bahwa intervensi berhasil menyentuh level keluarga sebagai unit terkecil.
Kecamatan dengan jumlah keluarga berisiko tertinggi adalah Sangatta Utara, sekitar 3.800 keluarga, yang sekaligus menjadi peta jalan untuk penanganan yang lebih terfokus ke depannya.
“Strategi penurunan stunting ini dijalankan dengan menitikberatkan pada pencegahan dari hulu. Untuk menekan stunting dari hulu,” katanya.
Junaidi menyoroti edukasi pasangan usia subur (PUS) 4T terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu banyak yang menjadi fokus penyuluhan melalui PLKB dan tim pendamping keluarga.
Pendekatan ini menyasar penyebab fundamental sebelum anak bahkan dilahirkan.
Selain itu, DPPKB juga bersinergi dengan program Seribu Rumah Layak Huni agar keluarga berisiko mendapat akses sanitasi, air bersih, dan rumah sehat, yang merupakan faktor lingkungan krusial pencegah stunting.
Dengan dua program unggulan yang berjalan paralel ini, DPPKB Kutim membuktikan bahwa pembangunan manusia yang berkualitas adalah sebuah proses berkelanjutan yang menyentuh setiap tahapan kehidupan.
“Program ini bagian layanan kami untuk masyrakat,” tutupnya. (ADV)


















