OPINI – Setiap aksi massa pada dasarnya lahir dari kegelisahan masyarakat terhadap kondisi sosial, politik, maupun kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Pemuda dan masyarakat turun ke jalan bukan tanpa alasan, melainkan karena ingin menyampaikan suara yang sering kali tidak terdengar di ruang-ruang formal.
Namun, sangat disayangkan jika semangat aksi tersebut justru bergeser dari tujuan utama, sehingga substansi tuntutan menjadi kabur.
Inilah yang harus kita jaga bersama, semangat kritis tidak boleh kehilangan arah, dan perjuangan tetap harus berlandaskan kepentingan rakyat.
Pemuda dikenal dengan idealismenya, keberanian, dan daya kritis. Akan tetapi, sikap kritis itu tidak cukup hanya diwujudkan lewat teriakan di jalan.
Ia harus diarahkan agar menjadi energi positif untuk membangun perubahan yang nyata. Aksi yang tepat sasaran akan memperkuat posisi masyarakat dalam memperjuangkan haknya, bukan sebaliknya melemahkan.
Di sinilah pentingnya keterbukaan ruang dialog dari pihak legislatif maupun eksekutif. Agenda reses memang menjadi sarana wakil rakyat untuk mendengar aspirasi, namun faktanya ruang itu terlalu sempit dan terbatas.
Padahal, aspirasi masyarakat di tingkat desa, kelurahan, hingga nasional harus dijadikan pijakan utama dalam setiap penyusunan regulasi maupun pengambilan keputusan.
Jika dialog diperluas dan dilakukan secara rutin, maka kebijakan yang lahir tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral di mata rakyat.
Selain parlemen dan pemerintah, institusi kepolisian juga memiliki peran penting dalam mengawal iklim demokrasi.
Aparat tidak boleh hanya dipandang sebagai pihak pengaman, melainkan sebagai pengayom masyarakat. Karena itu, dalam setiap pengamanan aksi, pendekatan humanis harus dikedepankan.
Polisi harus tetap berpegang pada Protap Dalmas No. 16 Tahun 2006, sehingga tindakan yang diambil tidak memicu eskalasi, tetapi justru mampu meredam ketegangan.
Lebih jauh, kepolisian juga seharusnya bersikap terbuka terhadap kritik masyarakat. Kritik bukanlah ancaman, melainkan cermin untuk memperbaiki diri.
Dengan menerima kritik sebagai bahan evaluasi, institusi kepolisian bisa terus memperkuat profesionalitasnya. Pada titik ini, tidak perlu lagi ada instruksi agar pejabat dari tingkat RT hingga nasional membuat pernyataan baik untuk menjaga citra institusi.
Kepercayaan publik akan hadir dengan sendirinya jika kepolisian konsisten menunjukkan kerja nyata, keadilan, dan sikap humanis.
Demokrasi sejati adalah demokrasi yang mendengar. Rakyat tidak hanya butuh janji, tetapi butuh ruang untuk menyampaikan suara tanpa takut diabaikan.
Ketika komunikasi dua arah antara masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum diperkuat, maka energi kritis pemuda akan menjelma menjadi kekuatan positif yang mendorong perubahan.
Suara rakyat sejatinya adalah suara kebenaran. Maka, mengabaikan aspirasi rakyat sama saja dengan menutup mata terhadap masa depan bangsa.
Saya percaya, dengan terbukanya ruang dialog, hadirnya aparat yang humanis, dan lahirnya kebijakan yang berpihak, Indonesia akan mampu melangkah lebih tegak menuju cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. (*/Maldini)
Penulis: Arif Maldini (Ketua DPK KNPI Teluk Pandan)