JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi merampungkan kajian aturan terkait perilaku para financial influencer atau finfluencer di Indonesia.
Langkah ini dilakukan guna memastikan masyarakat menerima informasi keuangan yang akurat dan tidak menyesatkan di tengah derasnya arus promosi investasi di media sosial.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, dalam laporan tahunan Dewan Komisioner OJK, Senin (4/8/2025).
“Kajian telah melalui berbagai tahap, termasuk benchmarking ke sejumlah negara yang lebih dulu mengatur finfluencer. Kami juga berdiskusi dengan para pelaku industri dan stakeholder terkait,” ujar Friderica dikutip dari CNN Indonesia.
Dalam proses penyusunan, OJK menggandeng perwakilan finfluencer, financial planner, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), praktisi hukum, hingga otoritas sektor pengawasan internal untuk merumuskan regulasi yang paling relevan dan kontekstual.
Tujuannya, menurut Kiki, adalah untuk melindungi masyarakat dari informasi keuangan yang tidak bertanggung jawab dan potensi penyesatan yang kerap terjadi di dunia digital.
Finfluencer Wajib Punya Kapasitas dan Patuhi Aturan
OJK menggarisbawahi bahwa seorang finfluencer harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai atas setiap informasi keuangan yang disampaikan kepada publik. Tak hanya itu, mereka juga wajib mematuhi ketentuan perizinan sesuai sektor jasa keuangan yang berlaku.
“Jika memberi nasihat investasi, maka wajib mengantongi izin sebagai penasihat investasi. Demikian pula jika memasarkan asuransi dan layanan lainnya,” tegas Kiki.
Finfluencer juga dituntut untuk memahami secara menyeluruh produk keuangan yang mereka promosikan. Hal ini untuk menjamin bahwa informasi yang disebar bersifat jujur, jelas, transparan, dan tidak menyesatkan.
Transparansi Adalah Kunci
Salah satu poin krusial dalam aturan ini adalah kewajiban finfluencer untuk bersikap transparan, terutama terkait identitas, afiliasi, dan potensi benturan kepentingan.
“Masalah sering muncul ketika finfluencer mempromosikan produk yang sebenarnya mereka terima bayaran untuk itu, tapi tidak mengungkapkan kerja sama tersebut ke publik. Masyarakat pun mengira informasi itu murni sebagai ulasan konsumen,” jelas Kiki.
Oleh karena itu, OJK akan menekankan pentingnya penyampaian informasi secara terbuka, termasuk apabila ada kerja sama bernilai ekonomi di balik konten yang disebarkan.
Aturan untuk Perlindungan Konsumen
Friderica menambahkan, regulasi yang tengah difinalisasi OJK ini akan mencakup seluruh perilaku penyampaian informasi produk keuangan di media sosial, termasuk untuk layanan di bawah pengawasan OJK seperti perbankan, asuransi, pembiayaan, hingga penyelenggara aset kripto.
“Fokus utama kami adalah perlindungan masyarakat. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang valid, akurat, dan tidak menyesatkan tentang produk keuangan,” pungkasnya. (*/Whd)