SANGATTA – Strategi penanganan stunting di Kabupaten Kutai Timur dimulai dari langkah paling fundamental: pendataan yang inklusif dan menyeluruh.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kutai Timur, terungkap bahwa Kecamatan Sangatta Utara mencatat jumlah keluarga berisiko stunting (KRS) tertinggi, dengan perkiraan mencapai 3.800 keluarga.
Wilayah dengan kasus tertinggi berikutnya adalah Kecamatan Bengalon, yang kemudian diikuti oleh kecamatan-kecamatan lain dalam skala yang berbeda.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kutim, Achmad Junaidi, menegaskan pendataan yang dilakukan bersifat universal dan non-diskriminatif.
Prinsip ini diterapkan untuk memastikan tidak ada satu pun keluarga yang terlewat dari sistem pendataan, terlepas dari status kewarganegaraannya.
“Walaupun seseorang bukan warga Kutim asli, jika sudah berdomisili di sini lebih dari enam bulan, tetap kita data dalam aplikasi. Kita tidak boleh diskriminatif dalam pelayanan,” tegasnya, Jumat 14 November 2025.
Pernyataan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang setara berdasarkan prinsip hak dasar penduduk.
Keakuratan dan kelengkapan data ini menjadi kunci penentu keberhasilan intervensi selanjutnya.
Dengan peta data yang jelas, program penanganan stunting dapat diarahkan secara lebih tepat sasaran dan efisien.
Setiap keluarga yang terdata sebagai berisiko akan menerima pendampingan berlapis yang melibatkan tim Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), kegiatan posyandu, serta kehadiran tim pendamping keluarga (TPK) di komunitas akar rumput.
Guna menciptakan dampak yang lebih holistik, DPPKB juga menjalin kemitraan yang erat dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan.
“Tujuan dari sinergi tridarma ini adalah untuk memastikan anak-anak dari keluarga berisiko tidak hanya terbebas dari masalah gizi kronis, tetapi juga memiliki akses yang terbuka terhadap pendidikan yang layak,” katanya.
Faktor-faktor penyebab stunting juga dianalisis secara mendalam, dengan fokus pada indikator 4T pada pasangan usia subur: terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak.
Berbagai upaya pencegahan pun digulirkan, mulai dari promosi penggunaan KB modern untuk mengatur jarak dan jumlah kelahiran, hingga perbaikan infrastruktur dasar seperti sanitasi dan akses air bersih.
“Inisiatif-inisiatif ini berjalan beriringan dengan program pembangunan lain yang dicanangkan pemerintah, seperti Program Serutu Rumah Layak Huni,” ungkapnya.
Dengan mengandalkan kekuatan kolaborasi lintas sektor dan didorong oleh kepemimpinan yang berkomitmen, pemerintah daerah menargetkan penurunan prevalensi stunting yang signifikan, yaitu hingga mencapai angka di bawah 20 persen atau level dua digit dalam kurun waktu dekat.
“Program ini dapat menargetkan kita untuk penurunan prevalensi stunting di Kutim,” pungkasnya. (ADV)


















