BONTANG – Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni, menyoroti kebijakan pusat soal pemotongan dana bagi hasil (DBH).
Dia menilai keputusan itu tidak adil bagi daerah penghasil seperti Bontang.
Menurutnya, kebijakan ini bisa berdampak pada kestabilan keuangan daerah di tahun 2026.
Neni menyebut aturan soal DBH sudah diatur jelas dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD.
UU tersebut menjamin sistem keuangan pusat dan daerah harus adil dan transparan.
Tujuan DBH adalah untuk memberikan keadilan fiskal serta mengurangi kesenjangan antar daerah.
Dana itu juga penting untuk membiayai layanan publik di daerah.
“Pada dasarnya, DBH adalah hak daerah,” ujarnya, Rabu 10 September 2025.
Neni menegaskan bahwa pemotongan sepihak tidak sesuai dengan undang-undang.
Sebab, besaran DBH sudah ditetapkan dengan rumus tertentu di UU.
Memang ada pasal soal penyesuaian, jika pendapatan negara tidak sesuai target.
Tapi itu bukan berarti hak daerah bisa dikurangi secara sepihak.
“Penundaan boleh, tapi pemotongan tidak dibenarkan,” katanya.
Tahun 2026, pemerintah pusat berencana memotong DBH untuk semua daerah.
Termasuk DBH dari migas yang diterima Kalimantan Timur.
Kebijakan ini membuat daerah penghasil resah. Bontang salah satunya, karena sangat bergantung pada dana transfer pusat.
Pada 2025, Bontang menerima DBH sekitar Rp1,2 triliun.
Namun tahun depan dipangkas Rp290 miliar.

DAU Bontang juga turun dari Rp274 miliar menjadi Rp229 miliar.
“Penurunan ini dinilai bisa mengganggu program-program daerah ke depan,” pungkasnya. (*/Maldini)