JAKARTA – Kecerdasan buatan (AI) telah merambah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam interaksi anak-anak sehari-hari. Namun, di tengah penetrasi teknologi yang kian masif, para ahli menyoroti potensi bahaya psikologis yang belum banyak disadari.
Pemerintah pun dinilai belum cukup sigap dalam mengantisipasi dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan mental generasi muda.
Psikolog klinis dari Eka Hospital Bekasi, Annisa Axelta, mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum banyak laporan yang secara eksplisit menyebut AI sebagai pemicu utama gangguan psikologis anak. Tapi bukan berarti situasinya bisa dianggap aman.
“Belum banyak bukan berarti belum ada. Bisa jadi kasusnya belum dikenali atau belum dikaitkan langsung dengan dampak AI,” ujar Annisa yang dikutip dari CNNIndonesia, Rabu 23 Juli 2025.
Annisa mulai mencatat sejumlah gejala awal yang mengkhawatirkan, seperti meningkatnya rasa kesepian, gangguan komunikasi interpersonal, hingga perubahan pola kelekatan anak terhadap orang tua.
Ia menilai, anak-anak yang lebih sering berinteraksi dengan teknologi non-manusia cenderung kehilangan kemampuan menghadapi dinamika sosial yang kompleks.
“AI membuat anak-anak terbiasa dengan interaksi satu arah yang cepat dan instan. Akibatnya, saat harus berhadapan dengan situasi sosial yang penuh ketidakpastian, mereka kesulitan beradaptasi,” jelasnya.
Menurut Annisa, tanpa adanya intervensi kebijakan yang memadai, AI dapat menjadi faktor signifikan dalam memperburuk kesehatan mental anak. Ia bahkan memperkirakan, dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, jumlah kasus gangguan identitas, isolasi sosial, hingga digital burnout di kalangan remaja akan mengalami peningkatan.
“Kalau AI sudah menjadi teman utama anak-anak, bukan lagi sekadar alat bantu, maka akan ada pergeseran besar dalam proses pembelajaran sosial dan hubungan dengan keluarga,” ujarnya.
Annisa menegaskan, saat ini adalah waktu yang krusial untuk pemerintah turun tangan. Penelitian mendalam, survei nasional, dan pedoman penggunaan AI yang ramah anak perlu segera disusun.
“Kita belum tahu seberapa besar masalahnya karena belum ada penelitian serius. Tapi dari gejalanya, sudah cukup jadi alarm. Jangan tunggu krisis dulu baru bertindak,” tegasnya.
Pemerintah Akui Belum Bergerak
Peringatan ini diamini oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Pribudiarta Nur Sitepu, mengakui penggunaan AI belum menjadi fokus dalam agenda survei atau kajian resmi KemenPPPA.
“Belum dilakukan survei. Ini AI fenomena baru. Bahkan dalam survei cyberbullying 2024 pun AI belum jadi bahan diskusi. Mungkin 2025 atau 2026 bisa masuk dalam pembaruan survei,” ujar Pri, sapaan akrabnya, saat ditemui di Gedung KemenPPPA, Jakarta.
Menurutnya, persoalan utama bukan hanya pada ketiadaan regulasi, melainkan juga pada rendahnya kesadaran kolektif. Ia menyebut, ada jurang pemahaman yang cukup dalam antara orang tua yang masih belajar teknologi, dan anak-anak yang sejak lahir sudah terbiasa dengan dunia digital.
“Anak-anak itu digital native, sementara orang tua baru belajar. Konflik muncul karena ketimpangan pengetahuan dan pendekatan,” katanya.
Pri menegaskan, isu AI tak bisa diserahkan pada satu kementerian saja. Diperlukan kolaborasi multipihak untuk membentuk lingkungan digital yang sehat bagi anak.
“Seperti pepatah Afrika, ‘It takes a village to raise a child’. Kita butuh peran aktif sekolah, komunitas, orang tua, dan tentu saja pemerintah untuk menjaga anak-anak di era AI ini,” tutupnya.(*/Whd)