JAKARTA – Dunia tengah berpacu membangun masa depan berbasis kecerdasan buatan (AI), namun di balik euforia teknologi, muncul seruan keras untuk.
Hal itu ditegaskan Perdana Menteri China, Li Qiang, dalam pidatonya pada pembukaan World AI Conference (WAIC) di Shanghai, dilansir dari CNN Indonesia, Senin (28/7/2025).
Li Qiang menekankan pentingnya membangun keseimbangan antara laju pengembangan AI dan jaminan keamanan pengguna.
Di hadapan ratusan pelaku industri, ilmuwan, dan pemimpin dunia, ia menegaskan dunia tak bisa lagi menunda konsensus global dalam mengatur AI, terutama di tengah ketegangan persaingan teknologi antara Beijing dan Washington.
“Risiko dan tantangan yang dibawa AI telah menjadi perhatian luas. Dunia membutuhkan konsensus lebih lanjut untuk menjaga keseimbangan antara pengembangan dan keamanan,” ujar Li, seperti dikutip AFP.
Pernyataan Li muncul hanya beberapa hari setelah Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, menggulirkan strategi agresif untuk menjadikan AS sebagai pemimpin AI dunia.
Trump menjanjikan pemangkasan regulasi yang selama ini dinilai membatasi sektor swasta dalam mengembangkan AI secara bebas.
Meski tensi antara dua raksasa ekonomi ini kian tinggi, Li menegaskan kerja sama internasional tidak boleh dikorbankan.
Dalam forum bergengsi tersebut, ia mengumumkan pembentukan badan kerja sama internasional yang dipimpin China untuk memperkuat tata kelola global AI berbasis prinsip keterbukaan dan inovasi bersama.
“Pengembangan AI harus berlandaskan keterbukaan, kolaborasi, dan inovasi kolektif,” kata Li.
AI kini tak hanya menjadi bagian dari industri teknologi, tetapi juga merambah ke pendidikan, kesehatan, transportasi, hingga sektor keamanan nasional.
Namun, perkembangan super cepat ini juga menimbulkan kekhawatiran serius – dari ancaman terhadap pekerjaan manusia, penyebaran informasi palsu, hingga potensi hilangnya kendali manusia atas sistem yang diciptakannya sendiri.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang turut menyampaikan sambutan melalui tayangan video, menyebut tata kelola AI sebagai “ujian besar kerja sama internasional” di abad ke-21.
PBB bersama sejumlah lembaga global terus mendesak perlunya regulasi yang inklusif dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Namun hingga kini, belum ada kesepakatan internasional yang bersifat mengikat di tengah gempuran inovasi yang tak menunggu waktu.
China sendiri telah menanamkan investasi masif dalam pengembangan teknologi AI, mulai dari sistem pengenalan wajah, pemrosesan bahasa alami, hingga pengambilan keputusan otomatis.
Sementara itu, AS semakin gencar memperkuat dominasinya melalui kolaborasi strategis antara pemerintah dan raksasa teknologi seperti Google, Microsoft, dan OpenAI.(*/Whd)