JAKARTA – Dianggap aneh, bahkan dicurigai sebagai tanda gangguan jiwa, kini kebiasaan berbicara dengan diri sendiri atau self-talk justru diakui sebagai salah satu cara paling efektif dalam menjaga kesehatan mental.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan jiwa, self-talk muncul sebagai alat sederhana namun berdampak besar bagi kestabilan emosi dan hubungan sosial.
Banyak orang mungkin tak sadar bahwa sejak kecil, mereka sudah terbiasa berceloteh sendiri.
Entah saat bermain boneka, berjalan kaki ke sekolah, atau merenung di kamar, percakapan internal itu nyatanya menjadi bentuk awal dari self-regulation.
Semakin dewasa, kebiasaan ini dapat berkembang menjadi mekanisme untuk menyemangati diri, mengelola kecemasan, hingga memahami emosi yang sulit dijelaskan.
Konselor kesehatan mental, Grace Lautman mengungkapkan self-talk bisa sangat membantu, terutama bagi mereka yang cenderung lebih empatik kepada orang lain ketimbang diri sendiri.
“Sebagai anak-anak, kita menyerap suara dan reaksi dari pengasuh kita. Terkadang, suara-suara itu berubah menjadi kritikus internal yang tajam, karena kita dibentuk oleh lingkungan yang tidak sepenuhnya aman,” ujarnya, dikutip dari Real Simple. Senin, 30 Juli 2025.
Lautman menjelaskan, berbicara kepada diri sendiri dapat memberikan “pengasuhan ulang” pada bagian diri yang dulu terabaikan, memperbaiki kepercayaan diri, dan memperkuat kesadaran akan tanggung jawab pribadi.
Tak hanya soal harga diri, self-talk juga berperan penting dalam regulasi emosi.
Di tengah dinamika hidup yang tidak selalu ramah, menciptakan dialog internal bisa menghadirkan rasa nyaman bagi sistem saraf dan menenangkan pikiran.
Ruang aman ini membantu seseorang menghadapi situasi menekan tanpa terlarut dalam kepanikan.
Lebih jauh lagi, self-talk juga berkaitan erat dengan kemampuan membangun hubungan sosial yang sehat.
Ketika seseorang mampu memahami emosinya sendiri, ia cenderung lebih jernih dan empatik dalam menanggapi emosi orang lain.
“Semakin sering kita berbicara pada diri sendiri, semakin besar kemampuan kita mengelola konflik dalam hubungan sosial,” kata Lautman.
Tak kalah menarik, kebiasaan ini pun bisa menjadi sumber humor.
Menertawakan kebodohan kecil atau kesalahan sepele lewat self-talk memberi ruang bagi pikiran untuk tetap ringan dan tidak terjebak dalam tekanan berlebih.
Humor, sebagaimana diketahui merupakan pelindung alami dari stres.
Di sisi lain, self-talk juga menumbuhkan rasa ingin tahu.
Ketika seseorang terbiasa bertanya pada dirinya sendiri “Kenapa aku merasa seperti ini?” atau “Apa yang bisa kulakukan lebih baik?” maka ia tengah melatih introspeksi yang membangun dan bukan sekadar berpikir negatif tanpa arah.
Pada akhirnya, self-talk bukanlah simbol kegilaan tapi justru cerminan dari kesadaran diri yang sehat.
Di dunia yang kerap bising oleh tuntutan dan ekspektasi luar, suara hati sendiri bisa menjadi satu-satunya penuntun menuju pemahaman yang lebih dalam—tentang siapa kita, apa yang kita rasakan, dan ke mana kita ingin melangkah.(*/Whd)