JAKARTA – Ungkapan “mati karena patah hati” ternyata bukan sekadar metafora puitis. Sebuah penelitian terbaru dari Aarhus University, Denmark, membuktikan bahwa duka mendalam setelah kehilangan orang terkasih benar-benar dapat meningkatkan risiko kematian dalam jangka panjang.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Public Health itu melibatkan 1.735 partisipan yang baru saja kehilangan orang terdekat.
Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu mereka yang mengalami gejala kesedihan ekstrem dan mereka yang berduka dalam tingkat lebih ringan.
Hasilnya cukup mencengangkan. Dalam kurun waktu 10 tahun setelah kehilangan, sebanyak 26,5 persen dari kelompok dengan duka mendalam meninggal dunia.
Angka ini jauh lebih tinggi dibanding kelompok berduka ringan yang hanya mencatatkan angka kematian sebesar 7,3 persen.
Gejala kesedihan ekstrem yang diamati mencakup lebih dari separuh dari sembilan indikator kesedihan.
Di antaranya adalah perasaan mati rasa emosional, hilangnya makna hidup, kesulitan menerima kenyataan, hingga kebingungan identitas diri.
Para peserta diminta mengisi kuesioner pada awal studi, kemudian kembali dimonitor enam bulan dan tiga tahun setelah kehilangan.
Peneliti utama studi, Mette Kjærgaard Nielsen, dikutip Kamis 30 Juli 2025, menyebut bahwa kelompok dengan duka berat umumnya telah berada dalam kondisi rentan bahkan sebelum kematian orang terkasih terjadi.
“Faktor seperti status sosial ekonomi rendah, kesehatan fisik yang buruk, serta gejala depresi dan kecemasan yang tinggi, memperburuk reaksi kesedihan,” ujar Nielsen.
Lebih lanjut, kelompok ini juga tercatat lebih sering menggunakan layanan kesehatan, termasuk konsumsi antidepresan, konseling psikologis, dan layanan perawatan primer.
Profesor Sian Harding, pakar farmakologi jantung dari Imperial College London, yang tidak terlibat dalam riset ini, menyatakan bahwa penelitian ini sangat berharga karena mampu memisahkan dampak duka dari faktor risiko lainnya.
Ia menyoroti pentingnya perspektif jangka panjang. “Tekanan emosional akibat kehilangan dapat memicu berbagai gangguan kesehatan serius, seperti penyakit jantung, hipertensi, kadar kortisol tinggi, diabetes, hingga depresi berat,” jelasnya.
Kondisi medis yang disebut broken heart syndrome atau Takotsubo cardiomyopathy pun menjadi perhatian. Sindrom ini merupakan gangguan jantung yang disebabkan oleh stres emosional berat, seperti saat ditinggal orang yang dicintai.
Tak hanya itu, beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang meninggal tepat pada hari peringatan wafatnya pasangan atau orang terdekat, memperkuat hubungan antara duka dan kondisi kesehatan kronis.
“Penemuan ini menjadi alarm bagi para tenaga kesehatan. Distress mendalam mungkin sudah terlihat bahkan sebelum kematian terjadi, dan intervensi dini bisa jadi kunci menyelamatkan jiwa,” pungkas Nielsen.(*/Whd)