JAKARTA – Kekuatan pemilih muda di Pemilu 2024 menjadi pisau bermata dua.
Ini menjadi sorotan dalam Dialog Publik Sumpah Pemuda yang digelar LAVEDA Institute, Selasa (28/10/2025) di Hotel Syahida Inn UIN Ciputat.
Acara menghadirkan tiga narasumber yang membahas peran pemuda. Fokus diskusi: dari aktivisme digital menuju keterlibatan nyata dalam sistem.
Direktur LAVEDA Institute, Muhaemin Ilyas, mengatakan, “Demokrasi substantif bukan hanya soal prosedur, tapi bagaimana nilai keadilan dan partisipasi terwujud.”
Dia berharap dialog ini menumbuhkan semangat kritis pemuda.
Rachmat Ferdian Andi Rosidi menepis anggapan Generasi Z apolitis.
“Fenomena sosial dan digital menunjukkan karakter pemuda yang cair dan adaptif,” ujar Rachmat.
Dia menekankan tantangan memobilisasi potensi pemuda di tengah kemunduran demokrasi global.
Wira Wirawan, Ketua Umum AMPD, menyoroti fenomena no viral, no justice di media sosial. Ia mengingatkan pentingnya literasi digital.
“Mari bersuara bukan hanya sebagai pengkritik dari luar, tetapi juga sebagai bagian dari sistem itu sendiri,” kata Wira.
Muhammad Rafly Setiawan, Manager Pemantauan Nasional NETFID Indonesia, memaparkan data pemilu.
“Demokrasi tanpa pemuda ibarat mobil tanpa bensin,” ujarnya.
Rafly menyebut 52% pemilih Pemilu 2024 adalah anak muda. Sebanyak 65% memilih berdasarkan isu dan integritas kandidat. Namun, 58% memilih karena insentif jangka pendek.
Aktivisme digital meningkat 47%, tapi hanya 23% yang berlanjut ke aksi nyata.
“Keterwakilan pemuda di DPR masih rendah, sekitar 15%. Ini pekerjaan rumah kita bersama,” tambah Rafly.
Ketiga narasumber sepakat: masa depan demokrasi substantif bergantung pada keberanian pemuda.
Aktivisme digital saja tidak cukup. Pemuda harus menjadi agen perubahan yang bekerja dari dalam dan mengisi ruang kepemimpinan publik dengan integritas. (*/Sartika)


















