OPINI – Di tengah geliat industrinya, Kota Bontang masih menyimpan paradoks besar. Di satu sisi, Bontang sering dielu-elukan sebagai miniatur Indonesia karena keberagaman suku dan budayanya.
Namun, jika kita jujur, keberagaman ini belum benar-benar dikelola secara serius. Bontang punya banyak suku, tapi tidak punya ruang representasi budaya yang bisa menjadi pengikat identitas bersama.
Coba bandingkan dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta atau kampung adat di Toraja.
Mereka berhasil menjadikan rumah adat sebagai pusat edukasi sekaligus destinasi wisata. Sementara Bontang, yang punya potensi lebih karena keberagaman warganya, justru belum menyediakan ruang serupa.
Akibatnya, generasi muda lebih akrab dengan pusat hiburan malam ketimbang ruang edukasi budaya.
Di sinilah seharusnya pemerintah Kota Bontang mengambil langkah berani. Lokasi yang tepat untuk itu adalah Prakla di Berbas Ujung bisa menjadi titik balik.
Selama ini, Prakla dikenal sebagai kawasan hiburan malam yang erat dengan miras dan aktivitas yang bertolak belakang dengan slogan kota Taman : Tertib, Agamis, Mandiri, Aman, Nyaman.
Alih fungsi Prakla menjadi kompleks rumah adat Nusantara akan memberi identitas baru bagi Bontang sebagai destinasi wisata edukatif yang bisa mendatangkan kebanggaan sekaligus pemasukan bagi kota.
Bayangkan jika di kawasan itu berdiri rumah-rumah adat Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Papua. Masing-masing menampilkan sejarah, tokoh, senjata tradisional, tarian, hingga kuliner khas.
Warga yang rindu kampung halaman cukup datang ke rumah adat sukunya tanpa harus jauh pulang, sementara bagi pelajar dan mahasiswa, rumah adat bisa menjadi laboratorium budaya yang memperkaya khazanah.
Tidak hanya itu, wisatawan dari luar kota tentu akan tertarik. Mereka tidak hanya datang untuk industri Bontang, tapi juga untuk mengenal budaya Nusantara yang terwakili di sini.
Hal ini otomatis akan menggerakkan ekonomi kreatif dan UMKM lokal, mulai dari kuliner khas hingga kerajinan tangan.
Apalagi, dengan APBD Kota Bontang yang mencapai Rp3,17 triliun pada tahun ini, sangat tidak berlebihan jika sebagian dialokasikan untuk mewujudkan rumah adat sebagai ikon baru kota.
Anggaran sebesar itu seharusnya tidak hanya habis untuk belanja rutin, tetapi juga untuk menghadirkan proyek monumental yang meninggalkan jejak sejarah dan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Dengan komitmen politik yang jelas, pembangunan kompleks rumah adat bukanlah hal mustahil, justru sangat realistis.
Bagi Bontang, pembangunan rumah adat bukan sekadar proyek fisik, melainkan investasi jangka panjang, memperkuat persatuan, mencerdaskan generasi, sekaligus menjadikan kota ini tujuan wisata budaya.
Jika hanya mengandalkan industri besar atau membiarkan hiburan malam berkembang, identitas Bontang akan rapuh. Tetapi dengan rumah adat, Bontang benar-benar akan hidup sebagai miniatur Indonesia, bukan sekadar slogan kosong.
Sebagai generasi muda, saya yakin perubahan ini bukanlah mimpi. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian politik dan komitmen nyata dari pemerintah kota.
Jika daerah lain bisa menjadikan budaya sebagai kebanggaan, maka Bontang pun mampu berdiri tegak, berbenah, dan membuktikan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan sekadar statistik.
Mari wujudkan Bontang sebagai kota industri yang cerdas sekaligus kota budaya yang membanggakan Nusantara. (***)
Penulis: Angelita (Mahasiswi Kota Bontang)