OPINI – Bagaimana mungkin sebuah kabupaten yang gemar mengumandangkan keberhasilan pembangunan justru menjadi penyumbang tertinggi angka anak tidak sekolah di Provinsi Kalimantan Timur?
Data resmi mencatat, sebanyak 13.411 anak di Kutai Timur tidak mengenyam pendidikan. Rinciannya: 9.945 anak belum pernah sekolah, 1.996 anak putus sekolah, dan 1.470 anak lulus tapi tidak melanjutkan.
Ironisnya, fakta mencengangkan ini tidak mengundang respons darurat dari pemerintah. Tidak ada pernyataan sikap dari kepala daerah, tidak ada langkah cepat dari Dinas Pendidikan, bahkan tak ada evaluasi anggaran atau forum terbuka yang menandakan keseriusan.
Semua berjalan seperti biasa, seolah-olah ribuan anak yang kehilangan hak dasarnya ini hanyalah statistik rutin tahunan.
Negara Absen, Anak-anak Jadi Korban
DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kutai Timur dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah daerah telah gagal menjalankan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagaimana mungkin rakyat diminta menjadi manusia terdidik, sementara negara sendiri lalai menyediakan infrastruktur, sumber daya, dan keadilan akses pendidikan?
Kritik ini bukan sekadar peringatan, melainkan cermin dari kelalaian struktural yang dibungkus oleh narasi pembangunan semu.
Apa yang Salah?
1. Akses Pendidikan Tinggi: Sekat Tak Kasat Mata
Hanya 5,5% penduduk Kutim yang menamatkan pendidikan tinggi. Ini bukan sekadar angka rendah, tetapi indikator macetnya mobilitas sosial. Bagi anak-anak desa, jalan ke perguruan tinggi terasa panjang, mahal, dan gelap—bahkan tidak terlihat.
2. Negara yang Buta terhadap Buta Aksara
Sebanyak 33,5% penduduk tidak pernah sekolah, dan 11% tidak tamat SD. Ini bukan hanya soal minimnya angka partisipasi, tapi bukti bahwa sistem pendidikan gagal menjangkau warganya sendiri. Di tengah dunia yang bergerak ke arah digital, ini adalah bentuk pembiaran sistemik.
3. Distribusi Guru: Tambal Sulam Setengah Hati
Daerah 3T di Kutim kekurangan guru berkualitas. Banyak yang enggan ditugaskan ke pelosok karena fasilitas dan tunjangan minim. Kalaupun ada guru, seringkali tak sesuai bidang. Anak-anak akhirnya belajar dengan guru tidak tetap dan tanpa pendekatan pedagogis yang layak.
4. Kualitas SDM: Infrastruktur Tanpa Jiwa
Pembangunan gedung sekolah memang gencar dipromosikan. Tapi siapa yang mengisinya? Banyak guru honorer digaji rendah, tanpa pelatihan berkelanjutan, dan tanpa jaminan karier. Maka, sekolah berdiri tanpa ruh pendidikan yang hidup di dalamnya.
Ini Bukan Sekadar Angka, Ini Soal Masa Depan
Keempat persoalan di atas menunjukkan bahwa krisis pendidikan di Kutim bukan sekadar persoalan teknis, melainkan kegagalan politik kebijakan. Pemerintah belum menempatkan pendidikan sebagai jantung dari pembangunan. Padahal, jika tidak segera diatasi, dampaknya akan merusak kualitas SDM lokal yang menjadi pilar Indonesia Emas 2045.
Solusi Bukan Seremonial, Tapi Aksi Nyata
Pemerintah harus berhenti bersolek dengan jargon “pembangunan berkeadilan” jika ribuan anak di pelosok tetap dibiarkan tenggelam dalam lumpur ketidakberdayaan.
Berikut langkah konkret yang harus segera diambil:
Insentif riil bagi guru di daerah 3T: rumah dinas, tunjangan khusus, dan jalur percepatan karier.
Program afirmasi dan beasiswa khusus bagi anak-anak desa untuk kuliah dan memasuki pasar kerja.
Perluasan akses ke sekolah menengah dan vokasi, agar anak tidak berhenti di jenjang SMP.
Penanganan anak putus sekolah melalui sekolah malam, sekolah keliling (mobile school), dan penguatan peran komunitas pengajar lokal.
Pelatihan guru berbasis budaya lokal, agar pendekatan mengajar lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan siswa.
Jangan Tunggu Mereka Hilang dari Statistik
Angka 13.411 bukan sekadar baris dalam laporan tahunan. Itu adalah anak-anak nyata yang kehilangan masa depan. Mereka bukan hanya korban ketimpangan struktural, tapi juga korban dari negara yang memilih diam.
Jika pemerintah tetap menutup mata, maka Kutai Timur tidak hanya tertinggal dalam pembangunan, tetapi juga gagal dalam kemanusiaan. (***)
Penulis: Deo Datus Feran Kacaribu ( Ketua GMNI Kutai Timur)