JAKARTA – Makanan ultra olahan disorot terkait dampaknya bagi kesehatan.
Berdasarkan penelitian terbaru di Universitas Michigan oleh psikolog dan kolega memberikan pernyataan bahwa sejauh ini makanan ultra olahan tidak hanya menggoda tetapi dapat membuat ketagihan.
Makanan tersebut di antaranya keripik, kue, soda dan produk rekayasa berat lainnya.
Makanan ultra-olahan berpotensi memicu perilaku adiktif yang sebanding dengan kriteria klinis untuk mendiagnosis gangguan penggunaan zat.
Para ahli di bidang kecanduan dan gizi menilai bahwa kegagalan mengenali hal ini dalam sistem diagnostik merupakan kelalaian serius yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat global.
Seruan untuk bertindak muncul di tengah kekhawatiran yang meningkat. Sidang Kongres AS baru-baru ini menyoroti kaitan makanan ultra-olahan yang adiktif dengan lonjakan penyakit kronis pada anak-anak.
Sementara itu gugatan di Philadelphia menuduh 11 perusahaan makanan sengaja merancang produk adiktif untuk anak-anak.
Sebagai respon, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) dan Institusi Kesehatan Nasional meluncurkan inisiatif gabungan baru yang terinspirasi dari keberhasilan program regulasi tembakau.
Hal ini merupakan langkah penting untuk menunjukkan semakin kuatnya dukungan untuk menerapkan ilmu kecanduan pada sistem pangan.
Dikutip dari Berandasehat.id (4/8) “Orang-orang tidak lagi kecanduan apel atau beras merah,” kata penulis utama Ashley Gearhardt, profesor psikologi di Universitas Michigan.
“Mereka kesulitan menahan diri dengan produk industri yang dirancang khusus untuk memengaruhi otak seperti obat dengan cepat, intens, dan berulang-ulang.”
Makalah yang dimuat dalam Nature Medicine mengulas hampir 300 studi dari 36 negara yang menunjukkan bahwa makanan ultra-olahan dapat mengganggu sistem penghargaan di otak.
Menimbulkan hasrat kuat, hilangnya kontrol, dan konsumsi berulang meski berdampak negatif yang merupakan ciri khas dari perilaku adiktif.
Studi Neuroimaging menunjukkan bahwa individu yang mengonsumsi makanan ultra olahan secara kompulsif mengalami gangguan sirkuit otak yang menyerupai pola yang ditemukan pada kasus kecanduan alkohol dan kokain
Obat yang menekankan keinginan untuk makan makanan ultra olahan juga mengurangi perilaku penggunaan obat secara kompulsif, hal ini menunjukkan adanya mekanisme Neurobiologis yang sama di antara keduanya.
Gearhardt dan rekannya menekankan poin penting terkait standar ganda yaitu kondisi gangguan penggunaan kafein dan nitrogen oksida dimasukkan dalam manual diagnostik dan statistik gangguan mental, dimana hal tersebut mengklasifikasikan gangguan mental di dasarkan pada bukti yang terbatas.
Kendati demikian, meskipun mendapatkan dukungan dan terus berkembang, kondisi kecanduan makanan ultra olahan belum di akui sebagai kondisi yang layak untuk di teliti secara berkelanjutan.
Di lansir dari laman yang sama (4/8) “Standar untuk mengenali kecanduan jauh lebih rendah dalam kasus-kasus lain,” kata rekan penulis Erica LaFata, asisten profesor riset di Pusat Ilmu Berat Badan, Makan, dan Gaya Hidup Universitas Drexel.
“Sudah saatnya kecanduan makanan ultra-olahan dinilai dengan standar ilmiah yang sama.”
Kritikus sering mengatakan bahwa makanan tidak bisa di samakan seperti tembakau dan obat karena di butuhkan untuk kelangsungan hidup.
Namun penulis membantahnya dengan menekankan perbedaan antar makanan utuh dan makanan ultra olahan.
Berdasarkan data medicalXpress, seperti tembakau yang tidak banyak kemiripan dengan rokok, makanan cepat saji modern telah kehilangan nutrisinya dan penuh dengan lemak, gula olahan, dan zat adiktif yang di rancang untuk penguatan maksimal.(*/T)