SAMARINDA – Proses revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Bukan hanya substansinya yang dipermasalahkan, tetapi juga proses pembahasannya yang dinilai tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Rapat di Hotel Mewah: Simbol Legislasi yang Elitis
Salah satu contoh nyata dari masalah dalam revisi ini adalah penyelenggaraan rapat pembahasan di hotel mewah.
Tindakan ini bukan hanya menunjukkan kurangnya transparansi dan efisiensi, tetapi juga mengindikasikan adanya kepentingan gelap di balik revisi ini.
Praktik ini semakin mempertegas bahwa DPR RI sebagai lembaga legislatif telah kehilangan kredibilitasnya dan lebih tunduk pada kepentingan oligarki militer daripada aspirasi rakyat.
“Lembaga legislatif sudah tidak ada kredibilitasnya, dan merusak kepercayaan rakyat,” ucap Tristan Ketua Bidang Hubungan Pemerintahan PC PMII Samarinda, Rabu 19 Maret 2025.
DPR RI Gagal Menjalankan Amanat Reformasi
Peran DPR RI dalam revisi UU TNI ini dinilai sangat bermasalah. Alih-alih mengawasi dan mengontrol eksekutif serta militer, DPR justru terlihat tunduk dan bersedia menjadi alat legitimasi bagi kembalinya supremasi militer di Indonesia.
“Beberapa poin yang menjadi sorotan adalah minimnya transparansi dan konsultasi publik, indikasi persekongkolan dan transaksi politik, serta konflik kepentingan anggota legislatif,” jelasnya.
Ancaman bagi Demokrasi
Revisi UU TNI ini bukan hanya soal militerisasi birokrasi atau perpanjangan masa dinas perwira, tetapi juga tentang bagaimana militer secara perlahan-lahan kembali menancapkan cengkeramannya dalam politik dan pemerintahan.
“Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi. Dampak dari militerisasi politik ini antara lain meningkatnya otoritarianisme, melemahnya supremasi hukum, dan kemunduran demokrasi,” bebernya.
Saatnya Rakyat Melawan
Revisi UU TNI ini bermasalah dari segi substansi dan proses. Rapat di hotel hanyalah puncak dari gunung es yang menunjukkan betapa bobroknya proses legislasi di Indonesia. DPR RI, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi, justru berperan sebagai komprador bagi kepentingan militer.
“Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap reformasi 1998, tetapi juga ancaman nyata bagi masa depan demokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (Red)