SANGATTA – Bupati Kutai Timur, Ardiyansyah Sulaiman, memilih tidak banyak berkomentar terkait dugaan korupsi proyek Rice Processing Unit (RPU) senilai Rp25 miliar di Dinas Ketahanan Pangan Kutim.
Dia menekankan, kasus tersebut sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang berlaku.
“Untuk sementara, saya tidak akan banyak menanggapi. Biarkan proses hukum berjalan sesuai aturan,” kata, Jumat (5/12/2025).
Sebelumnya, Polda Kaltim mengumumkan perkembangan kasus ini pada 3 Desember 2025.
Dari kasus dugaan korupsi ini, pihak kepolisian berhasil mengamankan sekitar Rp7 miliar dari total potensi kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp10,8 miliar.
Kombes Pol Bambang Yugo Pamungkas, Direktur Reskrimsus Polda Kaltim, menjelaskan bahwa pengadaan RPU berlangsung antara Maret hingga Desember 2024.
Dalam proses penyidikan, Subdit Tipikor memeriksa 37 saksi, termasuk 32 dari pihak Pemkab Kutim, Dinas Ketahanan Pangan, penyedia barang, serta beberapa perusahaan, serta 5 saksi ahli yang mencakup bidang pengadaan, keuangan, forensik digital, audit, dan hukum pidana.
Penyidik menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, yaitu DB (Pejabat Pembuat Komitmen), DJ (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan), dan BR (penyedia).
Dari para tersangka, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa 9 ponsel, 2 komputer, dokumen-dokumen, dan uang senilai Rp7 miliar.
Bambang menuturkan bahwa kasus ini bermula pada Maret 2024, ketika DB dan DJ melakukan pertemuan dengan BR dan LN, perwakilan PT SIA, untuk membahas pengadaan RPU.
Dalam pertemuan tersebut, mereka diduga sepakat melakukan pengaturan spesifikasi dan harga.
Dokumen Standar Satuan Harga (SSH) kemudian dibuat dan diisi sesuai arahan tersangka, menghasilkan nilai pengadaan hampir Rp25 miliar.
Selanjutnya, pengadaan diarahkan melalui e-katalog, dengan BR mengunggah 18 item RPU sesuai dokumen tersebut.
Proses ini termasuk pemesanan barang dari perusahaan luar negeri dan upaya memastikan harga tidak melebihi anggaran.
Namun, saat barang diterima, RPU disebut tidak memenuhi standar SNI, TKDN, dan PDN, serta hanya dapat digunakan dengan genset karena lokasi pemasangan berada di lahan Pertamina.
Menurut Bambang, DB sebagai PPK dituduh menunjuk penyedia secara tidak tepat, mengabaikan standar teknis, dan menyerahkan barang sebelum diuji.
DJ sebagai PPTK diduga mempersiapkan dokumen pengadaan dan pembayaran meski pekerjaan belum selesai. Sedangkan BR menyediakan dokumen dan barang yang tidak sesuai spesifikasi, yang memfasilitasi pengadaan tersebut. (*/Nun)


















