JAKARTA – Perubahan cuaca ekstrem berdampak pada penurunan produksi susu sapi dalam sehari mencapai 10 persen.
Penelitian baru yang di publikasikan di Science Advances menguak fakta bahwa suhu panas yang ekstrem tidak hanya berdampak pada produksi susu sapi yang menurun dalam sehari, tetapi menyebabkan dampak berkepanjangan yang dapat bertahan hingga lebih dari seminggu.
Penelitian ini membahas masalah krusial yang dihadapi industri susu global di tengah kondisi darurat iklim, meskipun menggunakan teknologi pendingin canggih.
Penelitian ini menjadikan Israel sebagai fokus utama karena reputasinya sebagai penghasil susu paling inovatif di dunia.
Memanfaatkan teknologi canggih seperti kipas angin, sistem semprot air dan ventilasi dapat menghasilkan produk susu sapi yang tinggi seharusnya mampu menghadapi tantangan ini.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa pendingin hanya mampu mengurangi separuh dari kerugian produksi dan mengalami penurunan pada hari-hari terpanas.
Mengutip Liputan6.Com, Jumat (11/7/25) Rekan penulis studi, Eyal Frank, menyatakan bahwa peternakan yang paling canggih sekalipun mungkin tidak cukup siap untuk menghadapi perubahan iklim. “Strategi adaptasi yang ada mungkin tidak cukup,” katanya.
Suhu Melebihi 26 Derajat Celcius Produktivitas Sapi Menurun
Sebuah penelitian jangka panjang terhadap 130 ribu sapi selama 12 tahun mengungkap penurunan drastis produksi susu sapi saat suhu bola basah melebihi 26 derajat Celcius.
Dampak yang di hasilkan dari kondisi lembab tersebut membuat sapi setara dengan mandi uap sehingga membutuhkan waktu 10 hari untuk kembali pulih sepenuhnya . Meskipun sebagian besar peternakan telah menggunakan sistem pendingin tetapi efektivitasnya masih terbatas.
Riset menunjukkan penggunaan pendingin dapat mengurangi kerugian produksi susu hingga setengahnya pada suhu bola basah 20 derajat Celcius.
Namun, efektivitasnya menurun menjadi 40 persen saat suhu mencapai 24 derajat Celcius. Meski demikian, investasi dalam sistem pendingin tetap dinilai menguntungkan, dengan rata-rata balik modal dalam 18 bulan.
Studi ini juga memperkirakan dampak global dengan menggunakan data Israel sebagai acuan. Tanpa sistem pendingin, produksi susu harian di 10 negara penghasil susu terbesar dunia diprediksi turun hingga 4 persen pada pertengahan abad ini, dengan penurunan paling tajam terjadi di negara-negara beriklim panas seperti India, Pakistan, dan Brasil.
Biaya Adaptasi Iklim Ekstrem Jadi Beban Baru Peternak
Biaya Adaptasi Iklim ekstrem dinilai memberatkan petani dan produsen susu sapi dengn penghasilan rendah.
Profesor madya di Universitas Ibrani Yerusalem, Ayal Kimhi, menyatakan bahwa biaya adaptasi yang mahal menjadi pertimbangan matang antara biaya dan manfaatnya.
Kondisi iklim yang ekstrem menyebabkan stres pada hewan sehingga berdampak pada kesejahteraan hidup, pola kesuburan dan kemampuan bertahan hidup.
Di sisi lain, petani di berbagai belahan dunia menghadapi cuaca ekstrem seperti banjir, gelombang panas dan hujan yang tidak menentu yang mengancam panen dan penghidupan mereka.
Di lansir dari Liputan6.Com, Jumat (11/7/25) Penulis utama studi, Claire Palandri, menekankan perlunya strategi yang lebih komprehensif untuk mengurangi faktor stres pada sapi, seperti kurungan dan pemisahan anak sapi.
“Tanpa tindakan yang lebih cepat, dampak perubahan iklim tidak hanya akan mengubah upaya para peternak, tapi juga apa yang kita makan dan minum,” kata Frank.
Penggunaan Pupuk Kandang Berlebihan
Dampak perubahan iklim mempengaruhi Hasil pertanian dan ekosistem termasuk salah satunya di Belanda.
Negara ini mengalami tekanan besar diakibatkan tingginya emisi nitrogen yang mengakibatkan target hijau uni eropa berada di ujung tanduk.
Sebagai pengekspor pertanian terbesar kedua di dunia menjadikan Belanda krisis nitrogen di kawasan Eropa. Pertanyaannya kini: bisakah produksi pangan dan konservasi alam benar-benar berimbang?
Belanda memiliki nitrogen per hektare tiga kali lebih banyak di banding rata-rata Uni Eropa, namun pemerintah mengeluarkan kebijakan penundaan hingga 2035.
Keputusan ini bertentangan dengan hukum nasional dan Eropa untuk menekan polusi nitrat mendekati nol pada 2050.
Pertanian intensif menjadi biang utama dengan rasio 620 ternak per 100 penduduk. Lahan yang terbilang padat, peternakan tidak hanya menghasilkan produk pangan tetapi memproduksi limbah pupuk kandang dalam jumlah besar yang sulit di kendalikan. (*/Tika)