SAMARINDA – Perkembangan terbaru terungkap dalam kasus penambangan ilegal di kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) milik Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul).
Belum lama ini, pihak berwenang menetapkan dua tersangka tambahan, yaitu D, Direktur PT TAA, dan E, yang diduga bertanggung jawab atas pengoperasian alat berat dalam kegiatan tambang tersebut.
Langkah ini menuai sorotan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan praktisi hukum.
Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Unmul, Nur Arifudin, menekankan pentingnya menyoroti tanggung jawab korporasi dalam kasus ini.
Ia menyatakan bahwa posisi D sebagai direktur perusahaan dapat memperluas kemungkinan tanggung jawab hukum, tidak hanya secara individu, tetapi juga menyasar entitas korporasi yang ia pimpin.
“Ketika kita berbicara tentang direktur, maka tanggung jawab badan hukum juga ikut dibicarakan. Apakah ia melakukan pengawasan? Apakah ia tahu pelanggaran itu terjadi? Atau justru lalai? Itu yang harus dikaji,” jelasnya dalam konferensi pers daring pada Rabu, 30 Juli 2025.
Merujuk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Arifudin menekankan bahwa direktur memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan hukum perusahaan. Jika terbukti lalai dalam pengawasan, maka korporasi pun dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Pertanggungjawaban bisa ke dua arah, yakni secara pribadi maupun mewakili korporasi. Jika sistem pengawasan perusahaan lemah dan pelanggaran terjadi, tentu perusahaan juga harus diseret ke ranah hukum,” tambahnya.
Terkait E, penyidik masih mendalami statusnya, apakah ia bagian internal PT TAA atau merupakan tenaga kerja dari pihak ketiga.
“Masih kami telusuri. Statusnya sebagai karyawan tetap atau outsourcing masih perlu dibuktikan lebih lanjut,” kata Arifudin.
Balai Gakkum KLHK Kalimantan melaporkan bahwa penangkapan terhadap kedua tersangka dilakukan setelah keduanya dua kali tidak memenuhi panggilan penyidik.
Keduanya ditangkap pada Sabtu, 19 Juli 2025, sekitar pukul 11.45 WITA di Jalan Ahmad Yani, Samarinda, oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Gakkum.
Pada malam harinya, sekitar pukul 22.50 WITA, status keduanya resmi ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan di Rutan Polresta Samarinda.
“D ditetapkan sebagai Direktur PT TAA, sementara E sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap alat berat di lokasi tambang ilegal KHDTK Unmul,” ungkap Kepala Balai Gakkum KLHK Kalimantan, Leonardo Gultom, dalam siaran pers, Senin 21 Juli 2025 lalu.
Dari hasil penyitaan, aparat mengamankan tiga unit telepon genggam yang diduga digunakan dalam aktivitas tambang.
Barang bukti yang diamankan antara lain satu unit iPhone hitam, satu iPhone silver, dan satu handphone Samsung berwarna hitam.
Sebelum D dan E ditetapkan sebagai tersangka, Polda Kaltim terlebih dahulu menangkap Rudini bin Sopyan, yang diduga sebagai pemodal utama sekaligus inisiator tambang ilegal di area seluas 3,48 hektare di KHDTK Unmul.
Rudini sempat mencoba membentuk kerja sama dengan Koperasi Serba Usaha PUMMA. Namun, kesepakatan tersebut gagal karena ia tidak mampu membayar uang muka sebesar Rp1,5 miliar.
Meski kesepakatan urung terjadi, Rudini tetap melanjutkan aktivitas penambangan tanpa mengantongi dokumen legal seperti Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP), Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), maupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Wakil Direktur Reskrimsus Polda Kaltim, AKBP Melki Bharata, menyampaikan bahwa penyidikan belum selesai dan masih terbuka kemungkinan adanya tersangka baru.
“Kasus ini tidak berhenti pada Rudini saja. Kami terus menggali informasi dan akan menindaklanjuti jika alat bukti mengarah ke pihak lain,” ujarnya usai Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Kaltim pada Kamis, 10 Juli 2025 lalu.
Sejauh ini, penyidik telah memeriksa belasan saksi, termasuk pengurus koperasi, pengelola KHDTK, serta operator alat berat yang diduga turut terlibat dalam kegiatan tambang ilegal ini. (*/Red)