OPINI – Siapa yang tidak mengenal dengan Plato, sesepuh Filsuf, Maha guru filasafat barat. Dia merupakan salah satu diantara para filsuf yang menjadi fondasi bagi semua pemikiran filsafat, baik filsafat barat maupun filsafat Islam.
Berbedah dengan sesepuh filsuf lainnya seperti, Socrates dan Aristoteles, Plato sendiri cukup memiliki pengaruh pada kebangkitan ilmuan- ilmuan lainnya.
Plato memiliki murit Bernama Aristoteles, sedangkan Aristoteles punya murid bernama Iskandar Zulkarnaen, sehingga dalam perekembangan warisan ilmunya tercipta Tradisi filsafat Romawi yang dinamakan Helenisme.
Selanjutnya Helenisme inilah yang diwarisi oleh para filsuf Muslim yang cuplikan sejarahnya parah filsuf muslim kemudian menginspirasi barat sehingga melahirkan Renaisans dan modernisasi sampai hari ini.
Pada momentum Idul Fitri ini, pikiran-pikiran plato tentang konsep kemanusian tentu masih cukup relevan, apatahlagi gagasan Plato terkait konsep jiwa manusia.
Seperti dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Politeia. Dalam buku yang berbedah di tulis oleh Fakhruddin Faiz yang berjudul Filsafat kebahagiaan, hakikat manusia adalah Jiwanya, sementara badan adalah bagian dari manifestasi dari jiwa. Menurut Plato, badan hanya manifestasi dari jiwa, maka jangan terlau percaya dengan badan. Badan bisa keliru dan menipu, karena hakikat manusia ada pada jiwanya.
Pada umumnya mungkin kita sering merasakan jengkel atau bahkan marah pada seseorang sehingga ekspresi wajah atau tubuh menjadi cemberut atau emosi, menurut Plato itu adalah manifestasi dari jiwa.
Begitu juga Ketika kita merasa sedang bersenang-senang, senyum-senyum itu juga bagian dari manifestasi jiwa yang sedang lagi senang. Kuncinya adalah ada pada jiwa. jadi, badan hanya sign, atau tanda dari jiwa.
Inilah yang sudah digambarkan Plato dalam bukunya Politeia bahwa jiwa bukan sesuatu, melainkan gerak atau aktivitas.
Menuju Hari raya Islam, ummat Islam sudah beribadah dengan berpuasa, Sholat, tadarusan, berzakat dengan harapan mendapatkan ganjaran yang lebih kepada tuhan, agar supaya selama bulan Ramadhan medapatkan keberkahan, hingga ampunan dari tuhan.
Lebih penting lagi adalah bagaimana selama ramadhan segala dosa yang ada dapat terbakar dan menjadi muslim yang bersih dari dosa untuk menuju hari kemengan Islam dalam keadaan yang fitri.
Tentu bukan hanya dosa-dosa yang terampuni menjadikan ummat Islam semakin fitri atau suci, tetapi bagaiman jiwa juga ikut suci. Sebagaimana gambaran Plato bahwa hakikat manusia adalah jiwanya.
Dalam Islam, Jiwa juga merupakan bagian dari metafisika yang lebih tinggi dari dimensi fisik. Jiwa dan tubuh saling membutuhkan, tetapi peran jiwa lebih banyak mempengaruhi tubuh.
Di Alqur’an dijelaskan bahwa jiwa disebut juga dengan istilah al-nafsh, al-ruh, al-aqlu, al-qalbu, al-fuad, dan al-lubab, merujuk pada tafsiran Al-qur’an tersebut, bahwa konsep jiwa sangatlah komleks dan mencakup berbagai istilah yang menggambarkan dimensi spiritual, dimensi, intektual dan dimensi emosional manusia.
Dengan demikian, dalam Islam memandang bahwa jiwa manusia sebagai entitas yang kompleks dan dinamis, dengan beragam daya yang saling melengkapi, akal, rasa, kehendak, dan spritualitas.
Setiap istilah menunjukkan dimensi tertentu dari jiwa yang bekerja sama untuk memungkinkan manusia berfikir, merasa, bertindak, dan mendekatkan diri kepada tuhan.
Melangkah ke hari kemenagan Islam adalah sebuah pencapaian yang luar biasa jika betul-betul ramadhan telah membakar dosa, ego dan sifat buruk manusia. Dengan begitu jiwa sudah barang tentu akan menjadi suci.
Jiwa yang suci akan melahirkan ketenangan dan kedamaian, itulah sebabnya mengapa ummat muslim selama Ramadhan diperintahkan untuk suci sebelum hari Idul Fitri.
Lebaran adalah hari kemenangan ummat Islam, karena ummat Islam telah berhasil menyelesaikan salah satu ibadah yang penuh tantangan, yaitu puasa Ramadhan. Kemenagan ini bukan hanya secara fisik, akan tetapi juga secara spiritual atau jiwa, yakni keberhasilan dalam mengendalikan hawa nafsu dan menjauhkan diri dari godaan duniawi.
Di Hari kemenagan ummat Islam ini, seyogyanya kita Kembali merefleksi pada esensi kemanusian. Jiwa sebagai entitas yang memiliki potensi keburukan dapat menjadi suci kembali sebagai mana fitra manusia yang sesungguhnya.
Manusia memiliki fitra kesucian sejak lahir lalu kemudian berkembang dengan jiwanya yang terus menerus beraktivitas. Sehingga jiwanya yang sakit akan beraktivitas pada siklus hidup yang buruk.
Olehnya itu, bertepatan di hari kemenagan ini, cuplikan gagasan Plato mengenai Jiwa manusia masih cukup relevan untuk kita pelajari, agar dapat merenungkan kembali esensi kemanusian kita dengan sama-sama mensucikan hati dan fikiran.
Sebab hati dan fikiran yang bersih akan menjadikan jiwa menjadi optimal. Hal itulah yang di sebut dalam Islam adalah Idul Fitrih.
Momen suci untuk saling memaafkan mempererat silaturahmi, dan meneguhkan Kembali komitmen kita sebagai pribadi untuk menjadi lebih baik, lebih sabar, dan lebih peduli terhadap sesama.
Selamat hari Raya Idul Fitri untuk Ummat Islam, semoga hari ini tepat menjadi momentum terbaik untuk mendapatkan hari kemenagan, hari Kembali ke fitrah dan hari saling memaafkan. (***)
Penulis: Al Mudzill (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Jakarta)