BONTANG – Kasus pernikahan usia anak di Kota Bontang masih terjadi meski sempat menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) menggelar dialog bersama sejumlah pihak.
Kegiatan ini berlangsung Senin, 29 September 2025 di Gedung Auditorium 3D Bontang.
Tema kegiatan adalah “Mewujudkan Perlindungan Anak Melalui Dialog dan Kolaborasi.”
Hadir sebagai narasumber: psikolog, tokoh agama, dan hakim Pengadilan Agama (PA) Bontang.
Kepala DP3AKB, Eddy Forestwanto menyebut banyak orang tua masih berpikir menikahkan anak adalah solusi.
“Padahal, itu justru bisa memperburuk keadaan anak yang jadi korban,” ujarnya.
Ia menjelaskan, banyak anak justru kehilangan hak belajar dan rentan trauma jika dipaksa menikah.
“Pernikahan bukan jalan keluar atas kekerasan seksual,” tegas Eddy.
Menurutnya, pemahaman masyarakat harus dibangun secara berkelanjutan.
“Kami ingin masyarakat sadar bahwa anak perlu perlindungan, bukan dipaksa dewasa sebelum waktunya,” ucapnya.
DP3AKB juga akan memetakan wilayah rawan kekerasan dan pernikahan anak.
“Kami sedang susun peta wilayah rawan agar pencegahannya lebih tepat,” katanya lagi.
Eddy menekankan, pemerintah tak bisa bekerja sendiri.
“Butuh kerja sama semua pihak, dari keluarga sampai institusi hukum,” jelasnya.
Sementara itu, Wali Kota Bontang melalui Staf Ahli Bidang Pembangunan, Lukman, menyampaikan dukungan penuh.
“Anak-anak berhak atas masa depan yang aman dan bahagia,” katanya.
Dia menegaskan pentingnya keterlibatan seluruh lapisan masyarakat.
“Pencegahan ini tidak cukup dengan aturan saja, tapi juga kesadaran bersama,” tuturnya.
Menurut Lukman, langkah kolektif harus dimulai dari lingkungan terdekat anak.
“Peran keluarga sangat penting untuk menghentikan praktik ini,” ujarnya lagi.
Data dari Pengadilan Agama Bontang menunjukkan tren fluktuatif.
Tahun 2020 ada 70 permohonan dispensasi nikah anak. 2021 turun menjadi 58 perkara.
2022 kembali turun jadi 31 perkara dan 2023 tercatat 21 perkara. Namun, tahun 2024 naik menjadi 25 permohonan.
Hingga September 2025, sudah ada 8 permohonan, satu di antaranya ditolak.
“Meski jumlahnya menurun, satu saja kasus terjadi, itu tetap jadi keprihatinan,” tutup Eddy. (*/ayb)



















